Pemburu Rembulan - Ringkasan (Bahasa Indonesia)4
Jum'at, 27 Maret 2020
Pemburu Rembulan
Oleh : Arul Chandrana
Bab 7 - The Bet Begins
Bab 8 - Filsafat Rotan
Bab 9 - Potak Raksasa
Bab 9 - Potak Raksasa
Deskripsi Cerita
Bab 7 The Bet Begins (halaman 100-126)
Ustadzah Hirzi sedang mengajar anak-anak menghafal surah Al-Ikhlas. Arul mendekat, langkah kakinya pelan namun pasti. Beberapa anak melihat kedatangan Arul, sontak buyarlah konsentrasi mereka menghafal surah Al-Ikhlas. Ustadzah Hirzi menyampaikan pembukaan, Arul yang berdiri agak jauh di sebelah Hirzi melambai-lambaikan tangan berusaha mengembalikan keriangan para siswa. Hirzi mempersilahkan Arul yang dari tadi sudah tidak tahan untuk beraksi.
Arul mengajarkan anak-anak bahasa Inggris. Meskipun Hirzi tidak yakin anak-anak bisa. Waktu bergulir tanpa terasa, tiba-tiba saja matahari sudah tinggi. Jam pulang sudah tiba, saatnya anak-anak pulang. Untuk pertama kalinya anak-anak menolak dipulangkan. Anak-anak ingin Ustadz Arul besok datang kembali mengajar anak-anak, dan Hirzi pun menanggapi permintaan siswanya dengan kurang menyankinkan. Namun demikian, anak-anak sudah cukup senang dengan jawaban tak menyakinkan itu.
Di dekat Amar ada dua orang pemuda Kampung Somor menemaninya, Rusli dan Dikding. Rusli berkulit kuning bersih yang selalu kotor oleh tanah. Sedangkan Dikding adalah pemuda beekulit gelap yang selalu rajin membersihkan kulitnya. Rusli ini juga pemuda yang sangat sopan. Sekalipun dia tak punya latar belakang pendidikan serendah apa pun, dia benar-benar menjaga akhlaknya. Sedangkan Dikding, dia adalah pemuda yang tak segan-segan berteriak nyaring dan membentak siapa pun yang tak sesuai dengan rasa hatinya.
Amar melangkah hati-hati begitu memasuki wilayah hutan. Disana banyak pohon-pohon besar dan rumput-rumput liar. Amar berjalan menuju sebatang pohon mangga raksasa. Sesampai disana, Amar segera duduk diatas tanah setelah mencabuti tanaman liar di sekitarnya. Rusli memanggil Amar untuk melanjutkan perjalanannya. Amar pun bangkit, lalu menyadari dengan tak sengaja apa yang barusan dia cabut sebelum duduk, ternyata itu jenis lain scratophy. Amar segera mengambil beberapa batang scratophy dan dibawanya tumbuhan-tumbuhan itu kepada dua kawannya. Lalu, tiba-tiba Dikding berteriak mengingatkan bahwa itu tanaman yang berbahaya. Tiba-tiba kulit tangan Amar sudah memerah dan melepuh disusul dengan rasa gatal luar biasa mengiris-ngiris pori-porinya.
Bab 8 Filsafat Rotan (halaman 127-135)
Kesepian kini menyelubungi Pantai Batu Karang. Ombak kecil tak bersuara. Tenang sekali disana tak ada siapa-siapa kecuali Hirzi dan Arul. Arul mendekati Hirzi dengan senyum kemenangan diwajahnya. Seakan dia berkata, lihat kan, metode mengajar ku membuat mereka ratusan kali lebih cerdas dari yang kau lakukan. Seperti biasa, mereka berdua selalu beradu pendapat tentang metode belajar yang mereka lakukan kepada siswa.
Arul menjelaskan kepada Hirzi bahwa ketika mengajar anak-anak atau memerintakan sesuatu pada mereka, apakah mereka langsung melaksanakannya? Apakah mereka menunggu sampai ada rotan yang bergerak mengancam? Jika kepatuhan mereka, ketenangan mereka, dan belajar mereka semuanya dimotori oleh batang rotan itu, maka apa yang akan terjadi pada mereka jika rotan ini suatu hari nanti patah jadi dua. Hirzi tercenung, dia tahu persis kata-kata Arul benar, Hirzi memalingkan pandangannya.
Hirzi terdiam, memikirkan banyak hal. Larut dalam renungan. Hirzi pun memberi tantangan kepada Arul untuk menunjukan Arul juga bisa mengajarkan Al-Qur'an dengan metode yang dia miliki. Setelah itu, dia menyambar rotan di kaki Arul dan segera pergi.
Bab 9 Potak Raksasa (halaman 136-148)
Sudah pukul setengah dua siang dan tak ada seorang pun dirumah pak Mustar. Udara yang gerah hingga mau tidur pun susah. Dan sejujurnya, susahnya untuk istirahat siang ini bukan hanya cuaca karena cuaca yang tidak nyaman, tapi juga karena tantangan Hirzi besok. Arul sudah memikirkan cara apa yang akan dia gunakan dan sudah pernah berhasil dicoba di mana pun tempatnya.
Tiba-tiba, terdengar suara anak-anak dari luar. Kemudian Bu Mustar berjalan kedepan pintu dan melihat lima orang anak bocah berdiri didepan rumahnya. Mereka menanyakan Ustadz Arul dan ingin mengajaknya ke Songai Potak. Telinga Arul langsung berdiri mendengarnya. Arul pun berangkat bersama anak-anak ke Songai Potak.
Arul disana melihat pohon raksasa berbuah hitam dan memiliki sayap, bergelayitan, bercicit bersahutan. Itulah Pohon Potak, di kakinya terdapat sendang tua berumur ratusan tahun, Songai Potak. Arul terkesiap menyaksikannya. Selama ini dia hanya menyaksikan songai-songai kecil di desa lainnya di Baweam dengan satu pohon tak seberapa besar didekatnya. Tapi disini, di desa Somor, di kaki bukit yang rimbun tak tercelah menjulang dengan penuh keangkuhan pohon raksasa yang telah berusia ratusan tahun. Yang ranting-ranting dipenuhi dengan kelelawar.
Songai Potak sepertinya lumayan dalam. Di tepinya, ratusan ikan kecil berkejaran sipermukaan. Permukaan air Songai Potak beriak, gelombang bundar menjalar dari arah mata airnya yang meburai-burai. Anak-anak sibuk mencopot bajunya masing-masing dan kelima anak iti berlari sekencangnya menuju kolam.
Ustadzah Hirzi sedang mengajar anak-anak menghafal surah Al-Ikhlas. Arul mendekat, langkah kakinya pelan namun pasti. Beberapa anak melihat kedatangan Arul, sontak buyarlah konsentrasi mereka menghafal surah Al-Ikhlas. Ustadzah Hirzi menyampaikan pembukaan, Arul yang berdiri agak jauh di sebelah Hirzi melambai-lambaikan tangan berusaha mengembalikan keriangan para siswa. Hirzi mempersilahkan Arul yang dari tadi sudah tidak tahan untuk beraksi.
Arul mengajarkan anak-anak bahasa Inggris. Meskipun Hirzi tidak yakin anak-anak bisa. Waktu bergulir tanpa terasa, tiba-tiba saja matahari sudah tinggi. Jam pulang sudah tiba, saatnya anak-anak pulang. Untuk pertama kalinya anak-anak menolak dipulangkan. Anak-anak ingin Ustadz Arul besok datang kembali mengajar anak-anak, dan Hirzi pun menanggapi permintaan siswanya dengan kurang menyankinkan. Namun demikian, anak-anak sudah cukup senang dengan jawaban tak menyakinkan itu.
Di dekat Amar ada dua orang pemuda Kampung Somor menemaninya, Rusli dan Dikding. Rusli berkulit kuning bersih yang selalu kotor oleh tanah. Sedangkan Dikding adalah pemuda beekulit gelap yang selalu rajin membersihkan kulitnya. Rusli ini juga pemuda yang sangat sopan. Sekalipun dia tak punya latar belakang pendidikan serendah apa pun, dia benar-benar menjaga akhlaknya. Sedangkan Dikding, dia adalah pemuda yang tak segan-segan berteriak nyaring dan membentak siapa pun yang tak sesuai dengan rasa hatinya.
Amar melangkah hati-hati begitu memasuki wilayah hutan. Disana banyak pohon-pohon besar dan rumput-rumput liar. Amar berjalan menuju sebatang pohon mangga raksasa. Sesampai disana, Amar segera duduk diatas tanah setelah mencabuti tanaman liar di sekitarnya. Rusli memanggil Amar untuk melanjutkan perjalanannya. Amar pun bangkit, lalu menyadari dengan tak sengaja apa yang barusan dia cabut sebelum duduk, ternyata itu jenis lain scratophy. Amar segera mengambil beberapa batang scratophy dan dibawanya tumbuhan-tumbuhan itu kepada dua kawannya. Lalu, tiba-tiba Dikding berteriak mengingatkan bahwa itu tanaman yang berbahaya. Tiba-tiba kulit tangan Amar sudah memerah dan melepuh disusul dengan rasa gatal luar biasa mengiris-ngiris pori-porinya.
Bab 8 Filsafat Rotan (halaman 127-135)
Kesepian kini menyelubungi Pantai Batu Karang. Ombak kecil tak bersuara. Tenang sekali disana tak ada siapa-siapa kecuali Hirzi dan Arul. Arul mendekati Hirzi dengan senyum kemenangan diwajahnya. Seakan dia berkata, lihat kan, metode mengajar ku membuat mereka ratusan kali lebih cerdas dari yang kau lakukan. Seperti biasa, mereka berdua selalu beradu pendapat tentang metode belajar yang mereka lakukan kepada siswa.
Arul menjelaskan kepada Hirzi bahwa ketika mengajar anak-anak atau memerintakan sesuatu pada mereka, apakah mereka langsung melaksanakannya? Apakah mereka menunggu sampai ada rotan yang bergerak mengancam? Jika kepatuhan mereka, ketenangan mereka, dan belajar mereka semuanya dimotori oleh batang rotan itu, maka apa yang akan terjadi pada mereka jika rotan ini suatu hari nanti patah jadi dua. Hirzi tercenung, dia tahu persis kata-kata Arul benar, Hirzi memalingkan pandangannya.
Hirzi terdiam, memikirkan banyak hal. Larut dalam renungan. Hirzi pun memberi tantangan kepada Arul untuk menunjukan Arul juga bisa mengajarkan Al-Qur'an dengan metode yang dia miliki. Setelah itu, dia menyambar rotan di kaki Arul dan segera pergi.
Bab 9 Potak Raksasa (halaman 136-148)
Sudah pukul setengah dua siang dan tak ada seorang pun dirumah pak Mustar. Udara yang gerah hingga mau tidur pun susah. Dan sejujurnya, susahnya untuk istirahat siang ini bukan hanya cuaca karena cuaca yang tidak nyaman, tapi juga karena tantangan Hirzi besok. Arul sudah memikirkan cara apa yang akan dia gunakan dan sudah pernah berhasil dicoba di mana pun tempatnya.
Tiba-tiba, terdengar suara anak-anak dari luar. Kemudian Bu Mustar berjalan kedepan pintu dan melihat lima orang anak bocah berdiri didepan rumahnya. Mereka menanyakan Ustadz Arul dan ingin mengajaknya ke Songai Potak. Telinga Arul langsung berdiri mendengarnya. Arul pun berangkat bersama anak-anak ke Songai Potak.
Arul disana melihat pohon raksasa berbuah hitam dan memiliki sayap, bergelayitan, bercicit bersahutan. Itulah Pohon Potak, di kakinya terdapat sendang tua berumur ratusan tahun, Songai Potak. Arul terkesiap menyaksikannya. Selama ini dia hanya menyaksikan songai-songai kecil di desa lainnya di Baweam dengan satu pohon tak seberapa besar didekatnya. Tapi disini, di desa Somor, di kaki bukit yang rimbun tak tercelah menjulang dengan penuh keangkuhan pohon raksasa yang telah berusia ratusan tahun. Yang ranting-ranting dipenuhi dengan kelelawar.
Songai Potak sepertinya lumayan dalam. Di tepinya, ratusan ikan kecil berkejaran sipermukaan. Permukaan air Songai Potak beriak, gelombang bundar menjalar dari arah mata airnya yang meburai-burai. Anak-anak sibuk mencopot bajunya masing-masing dan kelima anak iti berlari sekencangnya menuju kolam.
Format penilaian :
- Tanda baca : 20
- Pilihan kata : 18
- Struktur kalimat : 15
- Detail isi cerita : 40
IDA FITRIANA
XI MIPA 7
Komentar
Posting Komentar